Kesederhaan Hidup dalam Rumah Tangga

Kesederhaan Hidup dalam Rumah Tangga
 
Menjadi kaya dan memiliki segalanya di dunia ini memang obsesi hamper semua manusia. Meskipun hal itu tidak ada larangan dalam Islam, tetapi cara mendapatkan dan mempergunakannya telah diatur oleh Islam. Agar manusia tidak lupa diri bahwa apa yang telah diberikan Allah kepadanya semata-mata amanah yang dititipkan untuk dipergunakan sesuai dengan apa yang diridhai Allah (Sang Maha Pemberi).
Benar, mendapatkan kekayaan tidak dilarang Allah, tetapi sikap merasa cukup (qana’ah) memang hendaknya harus dimiki oleh setiap muslim, terutama bagi pasangan suami istri.
Karena banyaknya harta tidak akan menjamin kehidupan rumah tangga menjadi bahagia. Betapa banyak para istri pejabat yang hidup dengan bergelimang harta, namun hatinya resah dan tidak bahagia, padahal setiap hari ia mampu memberi apa saja yang ia inginkan.

Pemborosan dalam berbelanja banyak dilakukan oleh para wanita meskipun sering juga dilakukan oleh para lelaki, khususnya bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta. Tidak sedikit dari mereka yang terobsesi untuk mendapatkan pasangan yang lebih kaya dari segi materi, agar apa yang diinginkan secara keduniaan mudah tercapai. Tentunya hal ini akan dapat mudah merusak keharmonisan rumah tangga apalagi jika memang pemsukan (gaji) sang suami sangat terbatas. Dikhawatirkan sang suami akan mengalami dua sikap; bisa jadi ia kan merasa lemah dan tertekan menghadapi biduk rumah tangga yang penuh dengan tuntutan di luar kemampuannya, atau ia akan menyikapinya dengan emosi yang tadinya selalu berkata baik maka berubah mengeluarkan kata-kata buruk dan mempermalukan istri dengan tidak baik.
Dua macam wanita
Untuk menjaga ikatan keluarga agar selalu damai dan harmonis tentunya harus ada suami yang baik dan bertanggungjawab meskipun dengan nafkah seadanya dan istri yang merasa cukup (qana’ah) atas kemampuan suami, lebih dari itu ia juga harus pandai mengatur segala kebutuhan yang berkenaan dengan keuangan rumah tangga.

Dalam hal ini ada dua macam wanita: pertama, wanita dan rakus. Kedua, wanita shalihah yang qana’ah.

Untuk macam yang pertama adalah wanita yang selalu kurang dengan apa yang diberikan suami, dan selalu menuntut apa yang diluar kemampuan suaminya. Mu’adz bin Jabal menganggap wanita seperti ini bagian dari fitnatussara’ (ujian kesenangan) yang ditakuti banyak orang, ia berkata, “sesungguhnya jika kamu diuji dengan fitnatudhdhara’ (ujian sengsara) kamu bisa bersabar, tapi aku takut kamu mendapat fitnatussarra’ (ujian kesenangan) jika ia berhias emas dan memakai kalung, ia akan melelahkan bagi yang kaya dan membebani yang miskin apa yang ia tidak mampu”. Ibarat seorang yang ingin membeli mobil bermerek dan megah. Ketika ia meminta pendapat kawannya, kawannya menjawab: “mobil ini seperti wanita fitnah, kamu tidak akan mampu menafkahinya dan kamupun tidak mampu berpisah dengannya” mungkin mobil itu megah dan nyaman tapi di sisi lain ia butuh extra bensin dan sparepart yang mahal jika suatu saat direparasi.

Lebih jauh, sang istri tidak pernah mau mengakui cinta dan sayang sang suami terhadap dirinya., kecuali jika diberikan nafkah harta yang banyak. Ini adalah kesalahan besar, banyak para wanita berkeyakinan bahwa semakin banyak harta yang diberikan semakin bertambah pula kecintaannya terhadap dirinya.
Bila pemberian sang suami semkin berkurang, ia berkeyakinan bahwa cintanya berkurang. Sungguh sangat mengenaskan kondisi seperti ini, mengukur segalanya dengan materi.

Tetapi, bagaimanapun cara berpikir materialistis semacam ini tidak akan pernah terjadi dalam diri seorang wanita shalihah yang berakal. Tentunya ia mengerti dengan benar bahwa tanda-tanda cinta bermacam-macam bentuknya; bisa dengan kalimat indah dan menyejukkan hati, perilaku yang baik, pandangan, sentuhan, perasaan yang dalam atau bisa pula dengan hadiah sederhana tapi bernilai secara makna. Meski kita tidak mungkir bahwa infaq yang diberikan suami kepada istri adalah salah satu tanda cinta tapi itu bukanlah satu-satunya bukti cinta yang dapat membahagiakan. Karena berapa banyak para suami yang memberikan segalanya untuk istri mereka hanya karena mereka ingin tenang mencari kesenangan dan kecintaan lain di luar rumah. Mereka tinggalkan milyaran rupiah agar istrinya sibuk dengan hartanya, padahal berapa banyak dari para istri-pun tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya meski uang dan emasnya berlimpah.

Kesederhanaan keluarga Rasulullah SAW
Istri shalihah dan qana’ah akan selalu menghindar untuk menjadi fitnah bagi suaminya, bahkan ia menjadi penolong dari segala ujian yang menghantam suaminya. Bukan hanya itu, ia juga menjadi penenang di saat suami dalam keadaan gundah. Lebih dari itu ia berusaha untuk todak melelahkan suami. Terutama untuk keperluan sekunder apalagi demi mengenyangkan perut dan keinginan-keinginan yang tidak ada gunanya. Allah berfirman: wa kulu wasyrobuu wala tusrifuu innahu la yuhibbul musrifin (dan makanlah dan minumlah kamu sekalian dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan)(QS.Al A’raaf 31)
Mari sejenak kita simak kisah Fatimah binti Rasulullah dan suaminya Ali bin Abi Thalib ketika Rumah tangganya menjalani krisis ekonomi, pernah tiga hari ia tidak makan dan ketika Ali melihatnya pucat, ia berkata: ada apa denganmu wahai Fatimah? Fatimah menjawab: selama tiga hari kami tidak ada apa-apa di rumah. Ia berkata: kenapa kamu tidak beritahu aku? Fatimah menjawab: pada malam pertama ayahku Rasulullah SAW berkata kepadaku: “wahai Fatimah, jika Ali datang membawa sesuatu makanlah, jika tidak jangan kamu minta”. Rupanya fatimah mengerti benar posisi Ali pada saat itu, kesibukan Ali dalam dakwah dan jihad membuat Fatimah tidak mau mengusik masalah ekonomi rumah tangganya agar tidak mengganggu pikiran Ali.
Mari kita tengok sejenak kesederhanaan hidup Rasulullah SAW, “Aisyah berkata: “keluarga Rasulullah tidak pernah kenyang dari roti gandum dalam dua hari berturut-turut sampai ia meninggal” (HR. Bukhari dan Muslim) artinya pernah dua hari berturut-turut Rasulullah dan keluarganya tidak makan apa-apa bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan tiga hari berturut-turut. Diceritakan pula bahwa Rasulullah belum pernah makan roti tepung yang lembut. Berbeda dengan gaya makan saat ini dimana restoran-restoran gaya barat setiap hari dipenuhi oleh mereka yang senang memuaskan perutnya dengan roti-roti lembut berkeju seperti pizza dan makanan lainnya.
Begitu pula dalam berpakaian, Abu Musa al ‘Asyari meriwayatkan sebuah kain dan sarung yang tebal kepada kami ia berkata: “ketika Rasulullah menghembuskan nafas yang terakhir beliau memakai kain dan sarung ini” (HR.Bukhari dan Muslim). Pastinya kain yang tebal bukanlah jenis kain mahal, mungkin sekarang jarang orang mau memakainya karena selain kasar dipakainyapun terasa panas. Gaya berpakaian saat ini tentu tidak sama dengan pakaian Rasulullah. Kita lebih cenderung mencari yang halus dan mahal demi sebuah penampilan, padahal yang bagus dan tidak mahalpun masih ada yang tidak merusak penampilan. Banyak dari kita yang lebih senang menghabiskan hartanya untuk memuaskan hawa nafsu duniawinya daripada menginfaqkan di jalan Allah dan memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Allah menegaskan dalam firmanNya: “barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka kami segerakan baginya dunia ini apa yang kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahanam, ia memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al Isra 17/1)

Komentar