TERAPI STRESS

Dalam Ilmu Psikologi modern, stress termasuk jenis penyakit kejiwaan kategori neurosis. Pihak penderita masih menya-dari penuh kondisi dirinya, tidak hilang akal. Meski secara fisik, sering menam-pakkan tanda-tanda ketidakwarasan dengan ngamuk dan sejenisnya, tapi pada hakikatnya ia sadar, namun gagal mengendalikan emosi.
Stress merupakan reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau sulit. Gara-gara stres, tubuh memproduksi hormon adrenaline yang berfungsi untuk mempertahankan diri. Stres yang ringan berguna dan dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-hari. Stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin. Tetapi stress yang terlalu banyak dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan berbahaya bagi kesehatan.
  • Gejala-gejala:
     Menjadi mudah tersinggung dan marah terhadap teman, keluarga dan kolega.
     Bertindak secara agresif dan defensif
     Merasa selalu lelah.
     Sukar konsentrasi atau menjadi pelupa.
     Palpitasi atau jantung berdebar-debar.
     Otot-otot tegang.
     Sakit kepala, perut dan diare. 
Bagian dari Hati
 
Satu hal yang perlu ditegaskan, bahwa segala bentuk penyakit kejiwaan -menurut pandangan Islam, termasuk bagian dari penyakit hati. Sehingga, orang yang pendengki, takabur, suka berburuk sangka, pencemburu berat, penyedih, itu berada di areal yang sama dengan orang yang stress, depresi, psikopat, pengidap skizofrenia, dan yang lainnya. Termasuk juga pengidap penyakit-penyakit kejiwaan seksual seperti pedofilia, parafilia, homoseks, lesbian, dan sejenisnya.
Setiap pengidap penyakit jiwa, jenis apa pun juga, neuoris atau psikosis, sesungguhnya sedang mengidap penyakit hati. Seorang pedofilia (pengidap penyakit seks menyukai anak-anak di bawah umur) tak lebih dari orang yang memperturutkan hawa nafsunya terhadap lawan jenis atau sesama jenis, karena ia merasa tak sanggup atau kurang percaya diri melampiaskan nafsunya secara wajar dengan lawan jenisnya, apalagi melalui lembaga resmi, pernikahan. Saat sudah terbiasa dengan pelampiasan tersebut, ia akan menjadi candu, sehingga saat sudah menikah pun, kecenderungan seks menyim-pangnya itu bisa saja tetap berkembang, dan merusak dirinya serta orang lain di sekitarnya.
Begitu juga psikopat misalnya. Kenapa ia suka melihat penderitaan orang lain? Suka menyakiti orang lain yang menikmati hasil kerjanya itu? Karena ia terbiasa dengan dosa. Setiap dosa mewarisi kenikmatan, yang bila terus dilakukan akan seperti candu.

Kontrol Taqwa
 
Untuk dapat menghindari atau minimal meredam jiwa yang menyimpang dari kewajaran, menahan kecendrungan hati ber-maksiat, seseorang harus berlatih terus dalam kesadaran penuh.
Kesadaran penuh seseorang pada kondisi jiwanya disebut taqwa. Makna taqwa adalah kemampuan memelihara diri dari segala hal yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala, atau turunnya adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam bahasa ilmiah, taqwa didefinisikan,
Melaksanakan perintah Allah, dengan tuntutan cahaya keilmuan dari Allah, dan dengan mengharapkan pahala-Nya. Menjauhi larangan Allah, dengan tuntuntan cahaya keilmuan dari Allah, dan karena takut terhadap siksa-Nya. (Az-Zuhd Ibnul Mubarak I : 474 - Lihat juga Al-Hilyah oleh Abu Nu’aim 1344)
Artinya, ketakwaan itu melahirkan kesadaran diri, kewaspadaan, dan kepekaan. Orang yang bertakwa sadar banget bagaimana kondisi dirinya, prilaku, perbuatan dan sikap yang diambilnya. Ia tidak akan membiarkan adanya suatu hal, sikap, prilaku hingga kebiasaan yang bisa menyebabkan Allahlmurka, atau menyebabkan Allahl menyiksanya.
Oleh sebab itu disebutkan,
Ketakwaan itu letaknya di sini, ketakwaan itu letaknya di sini. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 14 : 69, oleh Al-Haitsami dalam Mazma’uz Zawaa-id X : 262)
Ketika seseorang bertakwa, ia bukan saja akan mampu memelihara diri dari segala bahaya yang bersifat fisik dan keduniaan, namun juga yang bersifat abstrak dan ukhrowi. Ia mungkin saja marah, tapi saat akan melampiaskan amarahnya, ia akan berpikir, “Apa manfaat yang akan saya peroleh dari pelampiasan amarah ini, di dunia dan di akhirat?” Maka, semakin lemah daya kontrol diri seseorang terhadap prilaku dirinya, semakin lemah ketakwaannya, dan semakin banyak hal-hal buruk yang akan menimpanya, baik bersifat keduniaan, ataupun kelak di akhirat nanti.

Pemulihan Kontrol
 
Taubat adalah proses pengembalian kontrol ketakwaan itu kepada asalnya. Oleh sebab itu, orang yang bertaubat dari sebuah dosa, seperti orang yang belum pernah melakukannya, ‘At-taaibu minadz dzanbi kaman laa dzanba lahu’. Dalam hadits, orang yang berbuat dosa berarti telah tercetak noda hitam dalam hatinya. Saat ia bertaubat, noda hitam itu akan kembali dihapus, dan hatinya akan kembali bersih seperti sedia kala. Namun per-soalannya, bila dosa itu terus dilakukan, sementara proses taubat jarang dilakukan, maka hati akan semakin menghitam oleh noda tersebut, hingga suatu saat akan kehilangan unsur ketakwaannya sama sekali. Saat itulah, seseorang ibarat orang yang sudah tidak lagi memiliki kesadaran apa-apa. Ia tak tahu lagi mana yang bermanfaat bagi dirinya, dan mana yang justru membahayakannya.
Orang yang suka berbuat keliru, namun masih senantiasa menyadari akan kekeliruannya dan selalu melakukan upaya dan lompatan-lompatan menuju taubat, itulah orang yang menurut pandangan psikolog disebut penderita neurosis. Sejenis penyakit kejiwaan tingkat awal, di mana kesadaran akan kealpaan diri masih ada. Bila kesadarannya itu lenyap sama sekali, atau hanya bersisa terlalu sedikit sehingga nyaris tak lagi berfungsi menggugah kesadarannya, maka disebut penderita psikosis. Silakan baca buku saya, “Metode Kedokteran Nabi, Antara Realitas dan Kepalsuan”, pada Pasal, ‘Ath-Thibbun Nabi dan Penyakit Kejiwaan’.
Orang yang stress, pada awalnya adalah penderita jenis neurosis. Namun bila diabaikan, akan berkembang menjadi pengidap psikosis yang tak ubahnya orang gila yang kehilangan seluruh kesadarannya, meski sesung-guhnya belumlah demikian.
Maka, untuk mengatasi sress dan depresi, sesungguhnya seseorang harus mengobati sumber penyakit paling utama dalam diri, yaitu bibit kekafiran dan kemusyrikan.
Setelah itu, ia harus melakukan terapi dengan mendekatkan diri kepada Allahl, di antaranya, dengan memperbanyak dzikir. Dzikir dapat meneguhkan jiwa, sehingga tak mudah labil, dan selalu dalam kondisi sadar dalam berbuat dan berkata-kata.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (Al-Anfaal : 45)
Selain beribadah dan berdzikir, banyak-banyaklah beristighfar dan bertaubat.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri… (Al-Baqoroh : 222)
Sebelumnya saya sudah menegaskan bahwa taubat adalah proses pemulihan kontrol ketakwaan dalam diri seseorang, sehingga ia kembali memiliki kemampuan berjuang mengontrol ucapan, perbuatan, hingga gerak-gerik hatinya. Orang yang bertakwa bukan hanya mampu menahan diri agar tidak memukul orang, mencuri, dan sejenisnya, namun juga mampu menahan hatinya untuk sekadar berburuk sangka terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian juga terhadap sesama manusia. Sosok hati semacam itu akan sulit dihinggapi ragam penyakit, dan sulit untuk dinodai oleh berbagai jenis penyakit kejiwaan.
Sisi penting yang paling utama -seperti dipaparkan di atas– adalah menjaga hati dari bibit-bibit kekafiran dan kemusyrikan. Karena keduanya adalah penyakit hati yang paling berat. Bila tak diobati, segala terapi lain tak akan ada gunanya sama sekali.
Contohnya saja, kecenderungan hati mengeluh dan mengutuki takdir, kebencian terhadap karakter yang diciptakan Allahl pada diri sendiri, berburuk sangka kepada Allahl, keinginan mendapatkan harta banyak meski dengan cara haram dan menduakan Allahl, dan berbagai bisikan hati lain yang dapat mendekatkan seseorang kepada kekafiran. Tanpa diatasi, siapapun akan sulit berproses melenyapkan atau mengurangi stress dan depresi dalam hatinya. Sebab, kekafiran dan kemusyrikan -bila sudah mengakar- akan menghanguskan seluruh rasa ketawakalan seseorang kepada Allahl. Sehingga sebagai gantinya, orang akan bersandar pada harta dan keduniaan, pangkat atau jabatan, dan hal-hal materi lainnya. Saat sandaran itu hilang atau berkurang, dunia pun amblas, dan ia pun kehilangan kendali diri. Di situlah, biasa penyakit stress dan depresi akan semakin mengguritta, kadang merusak susunan saraf di bagian kepala, dan tidak jarang mengakibatkan kegilaan, semi atau bahkan permanen. Wal ‘iadzu billah.
 
Ust. Abu Umar Basyir



Komentar