Tips
21 Juni 2006 - 17:08 (Diposting oleh: Gola Gong)
[Nulis Yuk 6] FUNGSI SOSIAL, TEMA, DAN PLOT POINT
Oleh Gola Gong
- Menulis Adalah Nikmat Terindah -
Menjadi penulis bukan sekedar melampiaskan ego kita, berlindung di balik mazhab "kebebasan berekspresi" atau "seni untuk seni" yang diusung Barat. Bagi saya, menulis tetap terkait dengan nilai-nilai lain; apakah itu agama, politik, atau norma-norma di masyarakat. Saya selalu teringat pesan emak, "Berusahalah agar tulisan kita ibarat jalan setapak yang bisa membawa orang ke mata air atau nyala lilin di kegelapan."
SOSIAL
Banyak orang alergi teradap agama, yang kemudian mereka larang mencampurkannya dengan fiksi. Bahkan secara ekstrim membuangnya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi saya, agama tetap menjadi rujukan dalam menulis. Itu memang pilihan. Kita sebagai penulis juga tidak bisa mengesampingkan fungsi sosialnya. Karya- karya kita kelak akan ditentukan oleh waktu; bermanfaat atau tidak bagi si pembacanya. Bagi saya, award atau penghargaan bukan tujuan utama. Tapi "menjadi berguna jauh lebih penting dari sekedar menjadi orang penting."
Lihatlah, kebatilan bagai ombak menerjang kita! Itu karena suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, sehingga kehancuran merajalela. Ya, carut-marut kehidupan, antara kata dan laku tidak lagi sesuai Setelah berdo'a pada Allah, keesokannya mereka bersekutu dengan setan.
Apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki keadaan? Berpangku tangan? Menonton saja? Jadi orang kalah? Apatis? Permisif? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Ajarilah anakmu karena ia akan hidup pada zaman yang berbeda." Dengan cara apa? Jika kita tidak punya kemampuan lain kecuali menulis, mari kita lawan kebatilan dengan pena. Sampaikanlah walau satu ayat. Mengutip perkataan Qatadah (tafsir al-Qurthubi, 2002), menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah. Ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah.
TEMA
Membuat komunitas penulis Islam seperti Forum Lingkar Pena adalah cara memerangi kebatilan itu. Juga untuk mengimbangi atau memberi alternatif bacaan kepada masyarakat di negeri ini. Dengan begitu, kita mengajak orang ke kebaikan dan meninggalkan yang batil. Juga tanpa sadar kita membentuk generasi baru yang cerdas, kritis, berani, jujur, dan berwawasan luas.
Pandai-pandailah kita memilih tema yang akan kita tulis, agar secara psikologis dekat di masyarakat. Dengan memakai metode jurnalistik, 5 W + 1 H; what (apa yang sedang terjadi), who (siapa saja tokoh dalam peristiwa itu), where (dimana peristiwa itu terjadi), when (kapan terjadinya), why (mengapa itu bisa terjadi), how (bagaimana peristiwanya), kita bisa menemukan tema-tema yang menarik sebagai bahan baku cerita. Tentu riset lapangan dan melakukan wawancara harus kita lakukan.
Misalnya, kita melihat seseorang sedang mengumpulkan sampah plastik. Jika kita menggali lebih dalam lewat wawancara, kita akan menemukan tema "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." Atau juga "menanamkan sifat mandiri".
Atau fenomena di masyarakat kita, yang masih memercayai pada kuburan. Menulis cerita dengan tema "menyembah berhala". Tema ini menarik; yaitu sirik atau kufur. Banyak masyarakat kita yang masih menganggap kuburan bisa mendatangkan berkah. Kita bisa merujuk kepada firman Allah di QS.Al-A'raf 7:65, " Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Allah yang diibadahi selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?"
Perhatikan juga perjuangan tukang ojek atau tukang becak. Keringat pengayuh becak bisa mendatangkan inspirasi untuk menulis cerita. Juga penjual nasi pecel, dengan modal Rp. 50.000,- sehari. Apa yang bisa kita perbuat, jika keuntungan yang diperoleh tukang pecel hanya Rp. 20.000,-/hari? Ini tema "hidup itu perjuangan". Kita bisa menerapkan janji Allah di QS. Ar-Ra'du:11, "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Tentu riset lapangan saja tidak cukup. Lengkapilah dengan riset pustaka, agar cerita yang kita tulis punya "ruh". Agar cerita kita tidak hanya berupa alur atau pergerakan cerita saja, tapi juga ada plotnya. Membaca buku adalah jawabannya. Bisa membaca novel sastra, buku biografi, novel pop, koran, majalah, kamus, Al-Quran, buku-buku agama, dan apa saja. Percayalah, membaca akan menambah imajinasi kita saat menulis.
PLOT POINT
Saat menulis, janganlah kita membayangkan sesuatu yang muluk-muluk dulu. Mulailah dengan memahami unsur-unsur fiksi; sinopsis, alur, plot, karakter, latar tempat, latar waktu, konflik, dan ending. Juga format atau struktur penulisan fiksi; yaitu dalam dunia film dikenal dengan sebutan "3 act structure" atau fomat realisme yang sangat sederhana atau konvesional. Dalam format ini kita memahani tentang; a) paparan, b) konflik, c) ending.
Ada hal yang sangat penting dan harus kita perhatikan, yaitu plot point. Ketika kita mengenalkan para tokoh, latar tempat, dan waktu, begitu memasuki wilayah konflik, kita harus menyiasati sebuah transisi atau "jembatan". Orang film menyebutnya plot point; sebuah peristiwa yang menggerakkan cerita. Tanpa ini, cerita yang kita tulis kurang greget atau hambar. Kalau dalam film kartun "Finding Nemo", tentu kita mengingat anak ikan bernama "Nemo" terkena perangkap jaring nelayan dan dibawa pergi ke daratan. Ayah ikan si Nemo pun sibuk mencari. Nah, saat Nemo terjaring, itulah plot point!
Kita juga bisa mencari plot point versi kita sendiri. Minggu depan kita bahas lebih detail, ya!
Rumah Dunia, 27 April
***
*) Tulisan ini dimuat di Bengkel Cerpen Annida Mei 2006
21 Juni 2006 - 17:08 (Diposting oleh: Gola Gong)
[Nulis Yuk 6] FUNGSI SOSIAL, TEMA, DAN PLOT POINT
Oleh Gola Gong
- Menulis Adalah Nikmat Terindah -
Menjadi penulis bukan sekedar melampiaskan ego kita, berlindung di balik mazhab "kebebasan berekspresi" atau "seni untuk seni" yang diusung Barat. Bagi saya, menulis tetap terkait dengan nilai-nilai lain; apakah itu agama, politik, atau norma-norma di masyarakat. Saya selalu teringat pesan emak, "Berusahalah agar tulisan kita ibarat jalan setapak yang bisa membawa orang ke mata air atau nyala lilin di kegelapan."
SOSIAL
Banyak orang alergi teradap agama, yang kemudian mereka larang mencampurkannya dengan fiksi. Bahkan secara ekstrim membuangnya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi saya, agama tetap menjadi rujukan dalam menulis. Itu memang pilihan. Kita sebagai penulis juga tidak bisa mengesampingkan fungsi sosialnya. Karya- karya kita kelak akan ditentukan oleh waktu; bermanfaat atau tidak bagi si pembacanya. Bagi saya, award atau penghargaan bukan tujuan utama. Tapi "menjadi berguna jauh lebih penting dari sekedar menjadi orang penting."
Lihatlah, kebatilan bagai ombak menerjang kita! Itu karena suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, sehingga kehancuran merajalela. Ya, carut-marut kehidupan, antara kata dan laku tidak lagi sesuai Setelah berdo'a pada Allah, keesokannya mereka bersekutu dengan setan.
Apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki keadaan? Berpangku tangan? Menonton saja? Jadi orang kalah? Apatis? Permisif? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Ajarilah anakmu karena ia akan hidup pada zaman yang berbeda." Dengan cara apa? Jika kita tidak punya kemampuan lain kecuali menulis, mari kita lawan kebatilan dengan pena. Sampaikanlah walau satu ayat. Mengutip perkataan Qatadah (tafsir al-Qurthubi, 2002), menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah. Ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah.
TEMA
Membuat komunitas penulis Islam seperti Forum Lingkar Pena adalah cara memerangi kebatilan itu. Juga untuk mengimbangi atau memberi alternatif bacaan kepada masyarakat di negeri ini. Dengan begitu, kita mengajak orang ke kebaikan dan meninggalkan yang batil. Juga tanpa sadar kita membentuk generasi baru yang cerdas, kritis, berani, jujur, dan berwawasan luas.
Pandai-pandailah kita memilih tema yang akan kita tulis, agar secara psikologis dekat di masyarakat. Dengan memakai metode jurnalistik, 5 W + 1 H; what (apa yang sedang terjadi), who (siapa saja tokoh dalam peristiwa itu), where (dimana peristiwa itu terjadi), when (kapan terjadinya), why (mengapa itu bisa terjadi), how (bagaimana peristiwanya), kita bisa menemukan tema-tema yang menarik sebagai bahan baku cerita. Tentu riset lapangan dan melakukan wawancara harus kita lakukan.
Misalnya, kita melihat seseorang sedang mengumpulkan sampah plastik. Jika kita menggali lebih dalam lewat wawancara, kita akan menemukan tema "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." Atau juga "menanamkan sifat mandiri".
Atau fenomena di masyarakat kita, yang masih memercayai pada kuburan. Menulis cerita dengan tema "menyembah berhala". Tema ini menarik; yaitu sirik atau kufur. Banyak masyarakat kita yang masih menganggap kuburan bisa mendatangkan berkah. Kita bisa merujuk kepada firman Allah di QS.Al-A'raf 7:65, " Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Allah yang diibadahi selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?"
Perhatikan juga perjuangan tukang ojek atau tukang becak. Keringat pengayuh becak bisa mendatangkan inspirasi untuk menulis cerita. Juga penjual nasi pecel, dengan modal Rp. 50.000,- sehari. Apa yang bisa kita perbuat, jika keuntungan yang diperoleh tukang pecel hanya Rp. 20.000,-/hari? Ini tema "hidup itu perjuangan". Kita bisa menerapkan janji Allah di QS. Ar-Ra'du:11, "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Tentu riset lapangan saja tidak cukup. Lengkapilah dengan riset pustaka, agar cerita yang kita tulis punya "ruh". Agar cerita kita tidak hanya berupa alur atau pergerakan cerita saja, tapi juga ada plotnya. Membaca buku adalah jawabannya. Bisa membaca novel sastra, buku biografi, novel pop, koran, majalah, kamus, Al-Quran, buku-buku agama, dan apa saja. Percayalah, membaca akan menambah imajinasi kita saat menulis.
PLOT POINT
Saat menulis, janganlah kita membayangkan sesuatu yang muluk-muluk dulu. Mulailah dengan memahami unsur-unsur fiksi; sinopsis, alur, plot, karakter, latar tempat, latar waktu, konflik, dan ending. Juga format atau struktur penulisan fiksi; yaitu dalam dunia film dikenal dengan sebutan "3 act structure" atau fomat realisme yang sangat sederhana atau konvesional. Dalam format ini kita memahani tentang; a) paparan, b) konflik, c) ending.
Ada hal yang sangat penting dan harus kita perhatikan, yaitu plot point. Ketika kita mengenalkan para tokoh, latar tempat, dan waktu, begitu memasuki wilayah konflik, kita harus menyiasati sebuah transisi atau "jembatan". Orang film menyebutnya plot point; sebuah peristiwa yang menggerakkan cerita. Tanpa ini, cerita yang kita tulis kurang greget atau hambar. Kalau dalam film kartun "Finding Nemo", tentu kita mengingat anak ikan bernama "Nemo" terkena perangkap jaring nelayan dan dibawa pergi ke daratan. Ayah ikan si Nemo pun sibuk mencari. Nah, saat Nemo terjaring, itulah plot point!
Kita juga bisa mencari plot point versi kita sendiri. Minggu depan kita bahas lebih detail, ya!
Rumah Dunia, 27 April
***
*) Tulisan ini dimuat di Bengkel Cerpen Annida Mei 2006
Komentar
Posting Komentar